Thursday 18 July 2013

Premise(s)

Hanya sebuah gundah? Mungkin lebih tepat dikatakan sebuah buah pemikiran yang tidak pernah terungkapkan. Entah tertutup rasa malu, malas, atau bahkan tertutup sinyal lain yang dikirim indra lain ke otak.

Entah apa yang salah dengan dunia ini, asik yah berat banget kalimat pembukanya. Yah bisa dibilang ini pertanyaan setiap orang dikala sulit tidur atau bahkan nonton televisi dewasa kini. Entah apa yang salah.

Ketika kita mencoba menelaah lebih dalam akan suatu hal, maka disitulah akan ada sesuatu yang lain layaknya lumut didalam kolam ikan koi dimusim penghujan, akan selalu ada meski tak disangka apa kegunaannya. Sesuatu yang kelak memukul mundur premis yang muncul, premis yang berusaha menunjukan hal tentang apa yang telah kita telaah sebelumnya. Singkatnya seperti mempertanyakan kembali "what the f*ck are you doing here?".

"..Dreamed to discover a new space, and buried himself alive.."

Atau ketika kita mencoba melepas rekat dari akar pikiran yang dari awalnya telah menjadi pola tunggal pikir kebanyakan. Dianggap menyepelekan, bahkan dianggap menyalahi aturan yang ada.

Yang lain, hal yang terjadi disekitar. Hal-hal yang diluar akal sehat, seperti dunia mencoba menunjukan sesuatu yang diluar jangkauan tangan atau kehendak kita. Hal-hal singkat namun pekat yang terjadi berulang kali sehingga kelak menyengat ingatan yang makin hari makin lemah.

Terlalu banyak mengeluh? Well, keluhan adalah sebuah bahasa ekspresi negatif yang diantarkan oleh kesadaran akan suatu hal. Setidaknya kita merasakan sesuatu dan tak hanya sekedar mencoba mencari celah atas pola pikir atau premis seseorang. Itu dia salah satu contoh hal pertama tadi.

Sebuah kesadaran atas hal benar yang perlahan mulai goyah. Pertanyaan singkatnya "Apakah yang benar itu benar-benar 'benar'?" Kala yang salah menjadi benar dan benar menjadi salah. Ya, gila perlahan tapi pasti.

Atau sebuah pilihan. Pilihan yang diambil akan mempengaruhi pilihan lainnya, singkatnya mempengaruhi jalannya proses pilihan yang muncul kelak. Sebuah pilihan yang dipengaruhi pilihan lainnya.

Sebuah tunduk akan hal yang dianggap telah menjadi hal benar selama ini hal yang berkaitan akan hal sebelumnya, ya perihal "benar yang goyah". Tunduk yang tak sepenuhnya didasari sadar dan tertutupi.

Tawa yang dianggap tidak perlu, tawa yang dianggap tabu karena tak semua tertawa. Karena tak semua tersenyum simpul ketika detik terakhir pelatuk sebab tawa itu tersentak.

Atau sebuah ayunan tangan kecil, bukan memukul, hanya sebuah dorongan berlawanan dengan kehendak yang berkata layaknya adegan dalam film laga, ketika sang jagoan memasuki bar atau kedai minuman musuhnya, "you don't belong here, get off"

Rasa rendah diri yang muncul ketika menatap sebuah tembok tinggi tersusun bata merah berjajar rapi diselipi gumpalan semen kering. Bahkan dianggapnya matahari pun mencari dahan lain untuk menutupinya.

Atau sebuah keyakinan yang dianggap tak layak diyakini.
Atau mungkin sebuah pemikiran singkat.
Sekelebat, mungkin tak lengkap kalimatnya, atau hanya sebuah pertanyaan tak jelas.




"It's better to say too much, then never say what you need to say again"


Saturday 8 June 2013

Belanda Punya Gaya.

Kalau anda mencari review pertandingan berbobot serta penuh dengan paparan lengkap taktik menit demi menit pertandingan Indonesia vs Belanda, anda salah tempat. Tapi kalo butuh sesuatu yang berbeda tapi layak untuk membunuh waktu dikala sibuk dikamar mandi atau macet disiang hari, mari disimak.

Semalam, yaa semalam, 7 Juni 2013. Indonesia kembali diinvasi Belanda setelah kurang lebih 70 tahun "terkesan" lepas dari cengkraman londo-londo hidung mancung tersebut. Tapi kali ini dengan bantuan agenda FIFA dan sentuhan kata "friendly match", Stadion Glora Bung Karno penuh dengan penonton dari segala usia, begitulah yang terlihat dilayar kaca televisi berwarna yang gw tatap. Seperti yang gw bilang diatas, gak akan ada review taktik pertandingan bahkan gw gak gitu paham formasi apa yang kedua tim pakai. Atau bahkan apa definisi kata "flank" pun gw butuh penjelasan google untuk mengangguk. Tapi yang menarik adalah, dari sebelum pertandingan semalam, dunia sosial seperti twitter penuh dengan kicauan berbau pertandingan malam tadi. Mulai dari yang berusaha menggelontorkan fakta sejarah demi menggugah ingatan pelajaran sejarah SD-SMP-SMA sampai nyinyir hanya demi mendapat sebuah retweet. Bayang-bayang masa penjajahan dianggap masih layak untuk diangkat bersanding sejajar dengan kata-kata penyemangat timnas. Bahkan bisa dibilang ini merupakan pertandingan emosional kedua Indonesia selain ketika berhadapan dengan Malaysia. Kalimat "350 tahun dijajah", "Nasionalisme", "Merah Putih" bertebaran ditimeline gw. Terlepas dari kostum putih hijau yang dikenakan Timnas, mereka bermain bagus entah bagaimana menurut para pengamat menanggapinya.

Pertandingan yang dilangsungkan di lapangan Stadion Gelora Bung Karno satu hari setelah sang empunya nama stadion berulang tahun. Entah apa korelasinya, mungkin ini merupakan rangkaian hadiah ulang tahun untuk sang proklamator jika menang. Ingat jika menang, dan nyatanya kita kalah. "Dengan Bangga" (katanya) ahh..

Yang menarik adalah kita, yaa kita masih membutuhkan bantuan sekutu untuk mengalahkan Belanda meskipun sudah merdeka (katanya). Sekutu? Yaa, sekutu asing tepatnya. Pemain naturalisasi, sponsor asing, serta pelatih utama asing. Dua pemain keturunan Belanda pun berada dalam susunan pemain kita semalam, mereka antek KNIL nampaknya (hahaha). Sungguh bangsa yang mandiri. Selain itu kita pun terserang deja vu massal yang dulu dialami para pendahulu kita, rasa senang ketika melihat Belanda tiba di Indonesia. Kalo dulu senang karena Belanda mborong rempah kalo sekarang senang Belanda datang bersama bintang sepakbolanya dan gantian kita yang mborong tiket ngeliat Belanda.

Selain itu, lebih menariknya lagi adalah mengalahnya bangsa kita tidak untuk memakai kostum kebanggaan merah putih, hanya demi bendera merah putih itu terselip kecil didada kiri pemain Belanda. Tepat disebelah bendera Belanda dan dibawah logo KNVB. Ini bentuk perjanjian macam apa lagi? Semoga bukan Linggarjati season 3, Hahaha.

Pertandingan semalam pun bisa dibilang menjadi ajang menarik melihat Menpora kita tercinta berusaha menjadi trendsetter meski entah sebelum ini pernah atau tidak dilakukan oleh pendahulunya. Yakni memadukan formalitas dan sportifitas yang tergambar jelas pada kostum yang ia kenakan, kostum timnas beserta celana bahan licin yang terlihat sedikit mengganjal. Entah apakah GBK minim kaca atau para pengawal yang pandai berbohong ketika ditanya.

Lalu ada lagi, yakni munculnya sang bapak ber-hati nurani di tribun, Sedang mencari kader berlatar belakang olahragawan atau sekedar men-scouting pemain muda untuk dijadikan tandemnya dalam 2014 nanti mungkin.

Meski realita kekalahan 3-0 tapi yang patut dicermati adalah antusiasnya para pendukung timnas yang bisa dibilang bagus. Yah walaupun kalah tetap semangat mirip dengan pemain timnasnya yang semangat lepas baju tukeran kostum sama pemain Belanda. Atau sesemangat yang di twitter gak nonton langsung tapi giat komentar sarkas kaya komentator gak dibayar.

Terlepas dari riuh rendah di stadion dan di timeline, kostum Menpora sang trendsetter, atau kostum putih hijau sang merah putih hal yang perlu kita syukuri adalah kita mendapat pelajaran yang berharga bisa bermain bersama beberapa pemain dunia, kita bisa belajar sejarah dari kultwit kakak-kakak ditwitter dan tentunya belajar dari Belanda bagaimana mereka membiakkan pemain muda layaknya tanaman touge dibawah sinar matahari, cepat, kuat. Yaa sekali lagi kita harus belajar dari Belanda, cara membuat undang-undang, cara membuat penjara, cara membuat jalan, dan sekarang setelah merdeka (katanya) kita masih belajar caranya bermain sepak bola, belajar dari Belanda, Belanda punya gaya.


Monday 3 June 2013

Gelar, Untuk Sesuatu yang Belum Kelar

KBBI > Cari Kata > Gelar :

ge·lar n 1 sebutan kehormatan, kebangsawanan, atau kesarjanaan yg biasanya ditambahkan pada nama orang spt raden, tengku, doktor, sarjana ekonomi; 2 nama tambahan sesudah nikah atau setelah tua (sbg kehormatan): ia diberi – “Sutan”; 3 sebutan (julukan) yg berhubungan dng keadaan atau tabiat orang
Diatas itu definisi resmi KBBI Online dari kata "Gelar". Singkatnya, gelar adalah bentuk penghormatan yang diberikan atas apa yang telah seseorang lakukan. Dan nihil kemungkinan diberikan kepada seseorang atas apa yang tidak pernah dilakukannya. Contoh yang lebih mudah, tak mungkin seorang yang tidak sekolah mendapat gelar sarjana. Gelar bukanlah hujan yang jatuh dari langit secara tiba-tiba ketika awan segempal pun tak terlihat.

Tetapi, cerah memang tak selalu cerah dan bebas dari hujan. Anomali. Yaa sebuah hal yang diluar akal sehat kembali terjadi. 31 Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianugerahkan "World Statesment Award 2013" oleh Appeal of Conscience Foundation. Gelar ini diberikan atas (katanya) kontribusi Pak Pres dalam suksesnya toleransi umat beragama di Indonesia. Gelar yang ia terima dengan senyum serta tatapan penuh bangga atas (mungkin) dirinya sendiri. Gelar yang ia terima ketika jubirnya sendiri membelanya dengan menghina agama lain. Gelar yang ia terima ketika ribuan akun di jejaring sosial twitter mengumandangkan kekecewaan atas tindakannya menerima gelar tersebut. Gelar yang ia terima ketika banyak pemuka agama mempertanyakan tindakannya menerima gelar tersebut. Gelar yang ia terima lalu ditutup dengan sebuah pidatonya dalam bahasa Inggris beraksen khas Indonesia. Lalu pertanyaannya, toleransi macam apa yang diciptakan di Indonesia? Toleransi bagaimana yang dimaksud? Ketika beribadah dilarang, ketika tiga menteri yang jumlahnya tak lebih banyak dari jumlah rata-rata personil boyband bisa menciptakan peraturan untuk melarang orang beribadah, ketika umat sedang beribadah dan ditodong lensa serta paha terbuka, ketika ormas atas nama agama berdiri seakan diatas lebih tinggi dari hukum, ketika menghina etnis dianggap hal sepele, ketika perang antar suku terjadi hanya karena persoalan sepele, ketika aaahhh sudahlah terlalu banyak yang jikalau disebutkan tak akan terlalu jauh beda panjangnya dengan surat Markus didalam al-kitab.

Dimana letak toleransi di negara ini? Entah apa yang salah dengan pemberi gelar ini. Atau mungkin jarak NY tempat Appeal of Conscience Foundation ini berdiam terlalu jauh sehingga distorsi makna tercipta ketika di Indonesia terjadi sebuah pelanggaran toleransi beragama dan berummat? Terlalu over-thinking memang tapi adakah akal sehat yang bisa menjelaskannya?

Ada peribahasa "Koreksi diri sendiri dahulu sebelum mengoreksi orang lain"

Baik, kita lakukan koreksi mendalam dari sisi kita, sang penerima penghargaan. Atau tepatnya sang presiden "dalang" toleran nya manusia di Indonesia. Tidak diperlukan gelar sarjana, gelar doktor, atau 7 gelar honoris causa milik sang presiden untuk mengkoreksinya. Cukup menilik kejadian beberapa waktu terakhir, seperti yang tertera diatas, yang saya tulis dengan panjang. Tindakan pelarangan beribadah, mendirikan rumah ibadah, bahkan mengganggu umat yang sedang beribadah itu hal yang mudah ditemukan di Indonesia, hampir semudah menemukan tukang sayur dipagi hari. BANYAK!

Dari semua kejadian diatas, pernahkah kita melihat sang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada turun tangan? menyelesaikan masalah antar rakyatnya? TIDAK! Ia lebih peduli akan update twitter perihal kegiatan atau makan siang apa ia hari ini. Ia lebih peduli akan seorang anak mantan Presiden yang gagal masuk ke partainya. Ia lebih peduli pada hal sepele sama seperti kepergiannya ke Swedia sebelum menerima penghargaan dari ACF tersebut.

Seharusnya ia melakukan hal yang hampir semua orang berakal sehat inginkan, menolak! Ya, menolak dan lebih peduli atas konflik horizontal diantara rakyatnya yang bersikut-sikutan perang urat saraf mempertahankan keyakinan agamais mereka atau perang golok hanya karena pemuda desa mereka dikeroyok pemuda desa sebelah. Toh penolakan gelar tersebut nyatanya tidak membuat ia kehilangan harga diri (lagi). Mengutip twit seorang pegiat media dan tokoh jurnalistik ternama :
Menolak penghargaan tak meruntuhkan integritas pribadi.
Yaa, tak akan hilang integritasnya bahkan mungkin bertambah dengan simpatik dari yang mengetahuinya. Tapi itu hanya teori, tak sebanding dengan logika sang penerima 7 gelar honoris causa dari universitas berbeda, gelar ksatria dari Ratu Inggris yang tentu luar biasa hebatnya hingga lupa peran utamanya dalam pemerintahan.

Pemimpin dengan gelar paling banyak pada zamannya mungkin. Semoga saja ia tak kehabisan blok minyak untuk ditukarnya lagi dengan gelar-gelar berikut.

Ada beberapa slentingan, gelar ini diberika agar sang Presiden dapat lebih giat menciptakan toleransi umat beragama di Indonesia. Atau singkatnya diberikan untuk sesuatu yang yang belum selesai, yaa gelar untuk sesuatu yang belum kelar.



[Ditulis dengan bantuan akal sehat berteman dengan amarah]

-Grazie

Thursday 7 February 2013

Kampung Naga, Desa Kecil Segudang Filosofi

Entry ini berisi tugas Komunikasi Antar Budaya, selamat menikmati..



Kampung naga, desa kecil yang terletak di perbatasan antara Tasikmalaya dan Garut Jawa Barat. Terletak di desa Neglasari tepatnya Kabupaten Tasikmalaya.


Perjalanan menempuh empat kota berbeda untuk mencapai sebuah desa yang berbeda pula dengan peradaban sekitarnya. Kami mulai perjalanan dari Tangerang tepat pukul 6 pagi, sedikit meleset dari jadwal awal yang rencananya akan berangkat pukul 4. Well, inilah kita generasi ngaret hasil didikan bangsa ngaret. Meski sempat mengalami masalah pada ban mobil yang membawa kami akhirnya kami mulai menempuh perjalanan panjang menuju petualangan tugas akhir mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Layaknya sebuah band baru yang hendak promosi album, kami menempuh perjalanan melewati kurang lebih lima kota, Tangerang - Bekasi - Bandung - Garut Desa, yang nampaknya lebih mirip rute bus yang membawa rombongan mudik berjamaah.

Tugu Kujang yang berisikan Sansekerta
Sunda dan sebagai penanda keberadaan
Kampung naga 


Entah berapa kali music player memainkan lagu yang sama didalam playlist tapi kami belum juga sampai di desa yang katanya masih menganut sistem hidup "bersama alam" itu. Keluar dari jalan tol Cipularang yang seperti memiliki kekuatan magis, mobil kami bergerak maju dengan cepat meski tidak menurun dan tak seinci pun pedal gas turun, akhirnya mulai memasuki daerah dengan jalan yang cukup ekstrim. Dijepit oleh tebing dan jurang disebelah kiri kami, mobil melaju dengan cepat berlomba dengan waktu dan janji makan siang di Kampung Naga yang nampaknya sudah menunggu kami yang tak kunjung datang. Akhirnya, setelah hampir 8 jam lebih menempuh perjalanan yang melelahkan, terlihat juga tugu Kujang yang menjadi penanda akhir garis finis pertandingan balap dengan waktu.


Kami pun bertemu dengan mang Ijap yang akan memandu kami selama berada di Kampung Naga. Perjalanan kurang lebih 8 jam ternyata bukanlah akhir dari perjuangan kami. Mang Ijap dengan dialek khas Sunda-nya memberi tahu kami bahwa masih ada 439 anak tangga yang menanti kami turuni.


Hal yang terlintas pertama dibenak saya adalah, "bagaimana nanti ketika naiknya?".


Tentu akan terlihat seperti atlit lari yang sedang melatih staminanya untuk sebuah kejuaraan. Selama perjalanan menuruni tangga, mang Ijap menceritakan banyak hal. Mulai dari asal-usul nama "Kampung Naga", Naga yang sebenarnya berasal dari kata "Nagawir" yang artinya "Lereng". Lebih tepatnya, Kampung Naga artinya adalah kampung yang terletak dilereng bukit.




Pemandangan Kampung Naga dari atas bukit


Sedangkan pemukiman warga lainnya yang berada diatas disebut "Sanaga". Seiring dengan cerita mang Ijap itu, terlihatlah apa yang disebut kampung lereng atau Kampung Naga itu. Atap-atap berhiaskan ijuk hitam mantap berbaris menatap Timur, arah mentari datang ketika pagi menjelang. Dihias dengan pohon-pohon tinggi mengelilingi seakan menandakan keasrian yang dijaga dan hubungan baik dengan alam layaknya sepasang yang ditakdirkan berdua.



Kami pun terus turun kebawah menuju desa kecil lereng bukit dikelilingi alam yang masih perawan dari sentuhan tangan manusia. Desa kecil yang tak lebih dari 314 warganya, tapi tetap bisa bersahabat dengan alam tanpa merusaknya.



Kampung Naga memiliki luas sekitar 1,5 hektar yang diatasnya terdapat 110 bangunan milik 108 kepala keluarga warga asli Kampung Naga. Desa ini dihuni kurang lebih 314 orang berbagai usia mulai yang baru lahir hingga yang paling tuas sekalipun. Kampung naga menjadi cerminan cara hidup yang benar dengan alam, dikelilingi hutan dan dilewati sungai Ciwulan yang alirannya cukup deras, desa ini masih bisa bertahan meski hujan deras melanda. Menurut penuturan mang Ijap, Kampung Naga belum pernah mengalami banjir meski berada dilereng bukit. Satu hal yang cukup mencengangkan kami yang datang adalah, tidak adanya toilet atau kamar mandi seperti yang biasa kami gunakan. Layaknya sebuah serangan jantung kecil kami alami sejenak sambil menatap nanar kearah 439 anak tangga yang baru saja kami turuni.



Cuaca ketika kami datang sedang kurang bersahabat, hujan cukup deras membasahi ijuk-ijuk dan rerumputan yang terbentang disekitaran Kampung Naga, menciptakan aroma yang tak kami dapati di perkotaan, apalagi Jakarta. Ketika meneduh, mang Ijap kembali menuturkan hal-hal menarik dari Kampung Naga.



Di Kampung Naga hampir semua warganya tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dikarenakan banyak hal. Contohnya adalah ada kondisi dimana seorang anak hendak meneruskan sekolahnya tetapi orang tua anak tersebut tidak mampu, atau juga sang orang tua mampu tapi si anak tidak mau. Di Kampung Naga tidak ada aliran listrik, semua benar-benar alami. Selain alami, yang pasti setiap malam datang kegelapan turut datang menyelimuti Kampung Naga. Tinggalah lampu-lampu petromax yang cahayanya terjaring langit-langit anyaman rumah penduduk. Keberadaan listrik tidak diterima di Kampung Naga, mereka menganggap kehadiran listrik bisa merusak hubunan baik yang telah mereka bina dengan alam. Listrik datang, maka yang lain pun turut datang, kulkas, televisi, dan yang lain-lain yang dianggap warga Kampung Naga tidak baik.



Penggambaran dunia luar dan budaya asing menurut penduduk Kampung Naga terdengar seperti sebuah praktek paham Etnosentris, dimana melihat budaya lain lebih terkesan buruk daripada budayanya sendiri. Menciptakan stereotip akan dunia luar atau budaya asing yang dianggap tidak cocok dengan budaya penduduk Kampung Naga. Meski pun kita tau bahwa listrik akan lebih memudahkan hidup mereka. Dan ini tentu mempengaruhi worldview penduduk Kampung Naga yang kian menganggap listrik adalah salah satu budaya asing yang bertentangan dengan budaya yang selama ini mereka jalani. Meski begitu sikap penduduk Kampung Naga ini harus dihormati karena hak semua orang untuk menentukan pahamnya sendiri.





Kampung Naga, barisan atap berijuk 
yang beralaskan hamparan sawah


Penduduk Kampung Naga mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, ini terlihat dari hamparan sawah yang menyapa kami ketika turun dari atas. Mereka bertani dengan menggunakan bibit padi lokal pemberian pemerintah. Dalam 1 tahun penduduk Kampung Naga bisa mendapatkan hasil 2 kali panen padi. Hal ini menyebabkan penduduk Kampung Naga mengalami swasembada beras, dimana kebutuhan beras sangat tercukupi dan bahkan berlebih. Namun hasil pertanian itu tidak untuk dijual, semua disimpan untuk kebutuhan warga desa, jika hendak dijual itu juga merupakan sisa yang berlebih dari hasil panen Kampung Naga. Dan misalkan ada pengunjung tertarik dengan beras organik hasil panen Kampung naga, bisa dibeli langsung ke penumbuknya maksimal 20 kg. Penduduk Kampung Naga menggunakan pupuk kandang atau pupuk yang dihasilkan alami dari kotoran ternak. Tak hanya bertani, mereka juga memelihara hewan ternak dan ikan. Didekat penumbukan beras didekat pintu masuk desa terdapat kolam ikan yang cukup besar. Berisi ikan-ikan dengan ukuran yang besar, ini semua adalah hasil pemeliharaan penduduk Kampung Naga. Mereka seakan-akan memiliki kesadaran penuh akan apa yang diberikan alam. Tanpa pamrih penduduk Kampung Naga merawat semua ternak, yang nampaknya menjadi milik bersama.





Warga Kampung Naga menumbuk padi
hasil tanam sendiri

Dalam kehidupan sehari-hari, penduduk Kampung Naga juga tidak terlepas dari komunikasi non-verbal, seperti tanda-tanda dalam pagar yang jikalau dibariskan seperti biasa itu artinya batas biasa sebuah rumah atau daerah pribadi tetapi jikalau pagar itu berbentuk silang, maka itu artinya daerah yang dikeramatkan. Tak hanya itu, bentuk tanduk di atap rumah penduduk menjadi penanda rumah asli orang Sunda. Dan sebelum masuk ke dalam desa, mang Ijap juga menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan tempat-tempat yang dikeramatkan oleh penduduk Kampung Naga seperti bangunan yang dikeramatkan namanya Bumi Ageng. Biasa dipakai ketika ritual upacara adat atau perayaan Hari Raya Islam 1 tahun 6 kali misalnya ketika hari raya Maulid Nabi, Muharram, Idul Adha, Isra Miraj, dan hari raya Kampung Naga. Hal ini dipengaruhi oleh semua penduduk Kampung Naga yang beragama Islam. Selain itu ada juga bekas lumbung yang dulu digunakan warga Kampung Naga untuk menyimpan sisa padi yang telah ditaruh di lumbung padi baru. Dan padi itu digunakan misalnya dalam acara Masjid, atau jika ada yg meninggal. Dan yang terakhir, “Bekas pangsolatan” yang terdapat bukti monumen berdirinya Kampung Naga. Berisi sejarah diimana pada tahun 1956 pernah terjadi pembakaran beberapa rumah yang dipimpin oleh DI/TII pimpinan Kartosoewiryo. Hal ini terjadi karena, penduduk Kampung Naga menolak ajakan untuk menjadikan Indonesia negara Islam, warga Kampung Naga memegang teguh paham Soekarno dan akhirnya Kampung Naga dibakar dan menjadi peristiwa Pareum Obor. Dan disini bisa dilihat untuk menghidari Cultural Lag yang terjadi antara budaya bawaan penduduk Kampung Naga dan kebudayaan Islam. Tentu dalam hal ini kita melihat bahwa peduduk Kampung Naga menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan keadaan yang ada untuk menghindari konflik ideologi dalam kehidupan mereka yang ideologis.


Sementara komunikasi verbal yang digunakan kebanyakan menggunakan bahasa Sunda yang seakan menjadi bahasa pokok di daerah Jawa Barat dan sekitarnya.


Di seberang Kampung Naga tepatnya seberang sungai Ciwulan, terdapat hutan larangan. Hutan yang masih belum pernah tersentuh tangan manusia. Menurut mang Ijap, disebut hutan larangan bukan karena ada mitos gaib atau hal-hala tidak masuk akal lainnya, melainkan untuk menjaga hubungan mereka dengan alam. Menjadikan hutan larangan itu sebagai hutan lindung, semacam ucapan terima kasih mereka kepada alam yang telah menyediakan segalanya untuk mereka. Sementara itu dibelakanh desa juga terdapat Hutan Keramat, disebut keramat karena didalamnya terdapat makam pendiri dan beberapa tetua adat Kampung Naga.


Tak terasa hujan mulai reda, dan kami bergegas ke rumah penduduk yang akan kami tinggali selama berada di Kampung Naga. Sebuah sambutam hangat yang diberikan sang tuan rumah, dan kehangatan itu tak hanya datang darinya. Tapi juga datang dari lampu petromax yang ternyata sudah mulai dinyalakan mengingat cahaya yang mulai kembali redup bersama matahari yang juga mulai hilang dari pandangan. Kami juga disambut santap siang yang telat sekaligus santap malam yang terlalu dini. Makanan yang disajikan sama seperti masakan rumah biasanya, namun yang membedakan semua makanan ini merupakan hasil alam di Kampung Naga. Malam semakin malam, terdengar sayup-sayup suara seseorang yang tengah mengaji, menandakan bahwa penduduk Kampung Naga sangat menjunjung tinggi kepercayaan yang mereka pegang.





Warga Kampung Naga bergotong-royong membatu
mengganti atap rumah warga lain


Keesokan hari tiba, kami bangun lebih pagi berharap mendapat bahan bagus untuk tugas Komunikasi Antar Budaya ini. Seperti biasa, kehidupan dimulai dari dapur. Si ibu pemilik rumah sudah terdengar sibuk didapur menyiapkan santap pagi untuk kami. Setelah itu kami mulai berkeliling memperhatikan dan mengumpulkan data yang bisa membantu kami menyusun 2000 kata ini. Di pagi hari terlihat semua warga Kampung Naga sibuk mengawali aktiviasnya masing-masing. Hujan kemarin masih menyisakan genangan air dimana-mana, dan membuat kami semakin yakin untuk menunda mandi pagi kami. Setelah berjalan keliling kampung, banyak hal menarik yang kami temui. Filosofi hidup bersama alam bukan di alam membuat warga Kampung Naga menjadi sangat menghargai apa yang alam berikan kepada mereka. Rumah yang mereka huni sebagian besar bahannya dari alam. Dinding anyaman, lintu anyaman hingga pondasi dari bebatuan sungai yang menopang rumah. Menurut penuturan mang Ijap, penduduk Kampung Naga hidup bergotong royong. Jika ada seseorang yang hendak membuat rumah baru maka ia hanya cukup mengumpulkan bahan-bahannya sedangkan pembangunan akan dibantu sepenuhnya oleh warga Kampung Naga lainnya. World view mereka tentang bertetangga sesama penduduk Kampung Naga mempengaruhi tindakan itu, dimana mereka bukan hanya sekedar bertetangga tapi juga bersaudara. Tidak pernah terjadi konflik diantara warga Kampung Naga. Selain rumah, hal yang menarik lainnya adalah Masjid ditengah desa, yang menjadi pusat kegiatan agama warga desa.





Gantungan ketupat yang dipercaya dapat menolak bala
sekaligus sebagai pengingat shalat lima waktu


Mang Ijap juga membeberkan beberapa hal tentang rumah-rumah di Kampung Naga. Ciri-ciri rumah di Kampung Naga adalah atap yang memakai ijuk lalu dilapisi daun tebus yang diyakini menurut penuturan mang Ijap kuat dan mampu bertahan hingga 30 tahun. Dalam satu bangunan rumah, terdapat dua pintu yaitu pintu dapur dan pintu ruang tamu. Hal ini dikarenakan penduduk Kampung Naga yang memiliki sifat dasar menghormati sesama yang sangat tinggi sehingga memberikan pintu yang berbeda. Karena menurut mereka tamu tidak perlu tahu apa yang terjadi di dapur mereka. Kedua pintu ini memiliki ciri yang berbeda, pintu ruang tamu terbuat dari kayu dan pintu yang masuk ke dapur adalah pintu yang dianyam memakai bambu sehingga memudahkan cahaya masuk ketika siang hari. Di depan pintu dapur juga terdapat sesuatu yang menarik. Terdapat gantungan yang dianggap sebagai penolak bala atau penolak kesialan oleh penduduk Kampung naga. Gantungan itu berbentuk ketupat dan dipasang setelah warga Kampung Naga melakukan selamatan kampung. Pembuatan ketupat gantungan itu pun sarat penggabungan filosofi, ketupat dibuat dengan 5 sudut, yang mengadaptasi ajaran agama Islam perihal shalat lima waktu. Sekali lagi ini merupakan tindakan pendudu Kampung Naga untuk menghindari cultural lag terjadi. Mereka mencoba menerapkan unsur-unsur keagamaan dalam tata budaya mereka. Dapur rumah penduduk Kampung Naga menerapkan filosofi mereka tentang hidup bersama alam, lantai dapur yang terbuat dari anyaman bambu dibiarkan tersusun saling bertumpukan. Hal ini dilakukan agar dapat memudahkan jikalau ada tumpahan makanan yang terjatuh bisa langsung dibuang kebawah rumah. Rumah mereka memang bersifat rumah panggung dan kolong rumahnya dipakai menjadi kandang ayam, sehingga makanan yang dibuang akan langsung menjadi santapan tak terduga milik ayam-ayam tersebut.





Rumah warga yang menjual souvenir khas Kampung Naga


Kami pun terus berjalan mengelilingi Kampung Naga, letak desa yang dikelilingi tebing membuat udara menjadi dingin meski mentari sudah mulai tinggi diatas. Kami berkeliling dan sempat berhenti melihat beberapa souvenir buatan penduduk.


Hal yang kami dapat dari pengalaman hidup di Kampung Naga selama beberapa hari adalah, bagaimana meyakini dan menjalankan apa yang kita percayai dengan sungguh-sungguh. Selain itu kami juga belajar filosofi hidup penduduk Kampung Naga yang hidup bersama alam bukan di alam. Kampung Naga, desa kecil lereng bukit yang berusaha bersahabat dengan alam ketika yang lain berusaha menjajahnya.



Grazie-

Saturday 19 January 2013

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer, adalah seorang sastrawan yang lahir di Blora, Jawa Tengah. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Nama Mastoer milik ayahnya dirasakan terlalu aristokratik maka ia menghilangkan awalan "Mas" dari nama belakangnya dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Semasa kecilnya Pramoedya tidak terlalu cemerlang dalam hal pendidikan, ia sempat tiga kali tidak naik kelas di Sekolah Dasar. Pramoedya kecil yang dianggap bodoh oleh ayahnya akhirnya melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Radio di Surabaya dan lulus dengan nilai yang cukup baik. Dimasa mudanya, Pramoedya kerap masuk penjara tanpa melalui proses pengadilan. Semasa penahanannya ia banyak menghasilkan novel-novel sastra. Diantaranya Tetralogi Buru, empat novel karangan Pramoedya Ananta Toer ini dikenal hingga ke mancanegara. Keempat novel itu adalah Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca.

Keempat novel itu ditulisnya selama menjalani masa pengasingan di Pulau Buru, salah satu pulau dikawasan Maluku, Indonesia tanpa pengadilan setelah sebelumnya ditahan di Nusakambangan dan bukunya dilarang beredar. Pramoedya sempat dilarang menulis selama pengasingan dan penahanannya di Pulau Buru, namun akhirnya dengan berbagai cara ia dapat menyusun kata demi kata dan menghasilkan salah satu novelnya, Bumi Manusia. Semasa penahanannya ia sering menceritakan secara langsung kisah dalam novelnya ini kepada sesama tahanan, kisah yang bercerita tentang Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Dengan berbagai cara akhirnya Pramoedya berhasil menyelundupkan novel-novelnya keluar negeri dari tahanan dan kemudian menjadi koleksi penulis-penulis Australia dan diterjemahkan ke bahasa Inggris. Selain itu, semasa penahanannya ia juga menulis beberapa buku seperti Gadis Pantai, sebuah novel semi-fiksi sama seperti Tetralogi Buru miliknya namun novel ini bercerita tentang pengalaman hidup neneknya sendiri. Dan ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir.



Kontroversi pernah menghampiri kehidupannya. Pramoedya yang adalah seorang anggota Lekra, akronim dari Lembaga Kebudajaan Rakyat, memunculkan kontroversi ketika Pramoedya mendapatkan Ramond Magsaysay pada tahun 1995. Banyak sastrawan lain yang menentang hal tersebut karena Pramoedya dianggap memiliki banyak kisah kelam selama keanggotaannya di Lekra. Salah satunya yang paling menolak dan menentang hal tersebut adalah Mochtar Lubis, ia sangat menentang pemberian penghargaan itu kepada Pramoedya Ananta Toer. Tak hanya itu, semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya sering dihina dan dikritik secara keras di koran saat itu. Semasa hidupnya Pramoedya selalu dibungkam dan tidak pernah didengarkan pembelaannya atas apa yang dituduhkan kepadanya.

Meski begitu Pramoedya Ananta Toer dengan segudang sejarah dan setitik kontroversinya adalah satu-satunya orang Indonesia yang dinominasikan sebagai penerima penghargaan Nobel Sastra. Tak hanya itu, beberapa penghargaan seperti, Mandajeet Singh Prize dari UNESCO pada tahun 1996, New York Foundation for the Arts Award pada tahun 2000, dan Penghargaan Pablo Nerudo dari Chili pada tahun 2004. Melalui tulisannya pula, Pramoedya terkenal sebagai seseorang yang memiliki tingkat imajinasi tinggi dan kemampuan mendeskripsikan yang sangat baik. Karya-karya sastranya diakui dunia, bahkan sampai dijadikan bacaan wajib dibeberapa sekolah di Australia. Namun sayang, tak banyak yang tau akan dirinya dinegerinya sendiri, Indonesia.



Ini tugas matkul Bahasa Jurnalistik, tugas menulis biografi singkat orang yang dikagumi. Semoga menghibur dan selamat menikmati!

Grazie-

Wednesday 16 January 2013

Pemerintah Jakarta Tidak Konsisten Tanggulangi Banjir

Banjir di Jakarta seakan sudah mejadi hal yang lumrah beberapa tahun belakangan, letak topografi dan ditambah dengan kinerja pemerintah Kota Jakarta yang tidak konsisten dianggap menjadi faktor utama banjir enggan beranjak dari kota Jakarta.

Letak topografi Kota Jakarta yang 40% dibawah permukaan laut atau sekitar 0-4 meter menjadi penyebab utama bencana banjir yang terus-menerus terjadi di Kota Jakarta. Tak hanya faktor topografi, kinerja pemerintah Jakarta yang tidak konsisten dalam menangani banjir Jakarta dan kerap salah dalam mengantisipasi banjir. Kemudian diperparah dengan kesalahan paradigma yang dialami pemerintah Jakarta yang menganggap, untuk mengatasi banjir solusinya adalah air hujan harus segera dialirkan ke laut, sedangkan permukaan laut nyatanya lebih tinggi dari permukaan tanah Kota Jakarta.
Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) dan Banjir Kanal Barat (BKB) yang merupakan proyek warisan Belanda dianggap tidak tepat menangani banjir untuk jangka panjang dan merupakan hasil dari paradigma yang salah dari pemerintah. Konsep membuang air langsung ke laut sudah lama ditinggalkan dan tidak digunakan lagi oleh negara-negara maju seperti Belanda, hal ini dikarenakan permukaan air laut yang naik akibat fenomena global warming.

Sikap tidak konsisten pemerintah terlihat dari kurangnya perawatan terhadap 13 sungai utama yang ada di Kota Jakarta dan lambannya proses relokasi pemukiman warga di kawasan pinggir kali. Diperparah juga dengan diberikannya 24 izin pembangunan mall baru yang tersebar diseluruh wilayah Kota Jakarta yang tentu bertentangan dengan program pemerintah yang mencanangkan akan memperbanyak lahan terbuka hijau dan lahan resapan air. Dan yang baru-baru ini adalah pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota yang dicanangkan Gubernur baru, Joko Widodo. Pembangunan jalan juga ikut menyumbang penurunan tinggi permukaan tanah Kota Jakarta, akibat dari pembangunan gedung bertingkat dan jalan-jalan beraspal wilayah Jakarta Utara mengalami penurunan daratan 10-15 sentimeter/ tahun dan wilayah Jakarta Pusat hingga Jakarta Barat turun 4-8 sentimeter/tahun.

Hal ini dibenarkan oleh pengamat tata kota, Nirwono Joga yang menganggap pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam penanganan banjir Kota Jakarta.
“Pemerintah Kota jakarta tidak konsisten menangani banjir, seperti yang kita tahu pemerintah kota Jakarta berniat memberikan ruang terbuka hijau yang lebih banyak tapi kemudian malah berencana membuat enam ruas tol baru dan ngasih ijin 24 mall baru di Jakarta. Gak konsisten itu namanya”. Ujar Nirwono.

Menurutnya, pemerintah kota Jakarta seharusnya mengembalikan fungsi waduk dan situ sebagai eco-drainasse, dimana waduk dan situ berfungsi sebagai daerah penampung dan daerah resapan air hujan. Eco-drainasse dianggap bisa menjadi solusi yang tepat dan menguntungkan karena tidak terlalu memakan banyak anggaran, dan menguntungkan karena dengan mengembalikan fungsi waduk dan situ di Jakarta sebagai daerah sumber air jika musim kemarau datang. Selain itu Eco-drainasse juga dianggap lebih menguntungkan karena dapat menjadi sumber air ketika musim kemarau tiba dibanding Deep Tunnel yang dicanangkan oleh Gubernur Joko Widodo.

Program normalisasi 13 sungai utama di Jakarta juga dianggapnya menjadi hal yang wajib dilakukan pemerintah dengan memeperlebar sungai yang sekarang lebarnya hanya 20-30 meter menjadi 100 meter yang terbagi menjadi 50 meter wilayah air dan 25 meter ditiap sisinya dan merelokasi pemukiman penduduk di pinggiran kali.

Dan yang terakhir adalah benar-benar konsisten menciptakan daerah ruang terbuka hijau untuk membantu fungsi eco-drainasse yang dijalankan waduk dan situ seperti dalam Undang-undang Tata Kota nomer 26 tahun 2007 pasal 29 dan 30.


Ini merupakan tugas liputan Penulisan Berita, semoga bermanfaat menyadarkan kita semua. Ciao!

Grazie-