Wednesday 16 January 2013

Pemerintah Jakarta Tidak Konsisten Tanggulangi Banjir

Banjir di Jakarta seakan sudah mejadi hal yang lumrah beberapa tahun belakangan, letak topografi dan ditambah dengan kinerja pemerintah Kota Jakarta yang tidak konsisten dianggap menjadi faktor utama banjir enggan beranjak dari kota Jakarta.

Letak topografi Kota Jakarta yang 40% dibawah permukaan laut atau sekitar 0-4 meter menjadi penyebab utama bencana banjir yang terus-menerus terjadi di Kota Jakarta. Tak hanya faktor topografi, kinerja pemerintah Jakarta yang tidak konsisten dalam menangani banjir Jakarta dan kerap salah dalam mengantisipasi banjir. Kemudian diperparah dengan kesalahan paradigma yang dialami pemerintah Jakarta yang menganggap, untuk mengatasi banjir solusinya adalah air hujan harus segera dialirkan ke laut, sedangkan permukaan laut nyatanya lebih tinggi dari permukaan tanah Kota Jakarta.
Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) dan Banjir Kanal Barat (BKB) yang merupakan proyek warisan Belanda dianggap tidak tepat menangani banjir untuk jangka panjang dan merupakan hasil dari paradigma yang salah dari pemerintah. Konsep membuang air langsung ke laut sudah lama ditinggalkan dan tidak digunakan lagi oleh negara-negara maju seperti Belanda, hal ini dikarenakan permukaan air laut yang naik akibat fenomena global warming.

Sikap tidak konsisten pemerintah terlihat dari kurangnya perawatan terhadap 13 sungai utama yang ada di Kota Jakarta dan lambannya proses relokasi pemukiman warga di kawasan pinggir kali. Diperparah juga dengan diberikannya 24 izin pembangunan mall baru yang tersebar diseluruh wilayah Kota Jakarta yang tentu bertentangan dengan program pemerintah yang mencanangkan akan memperbanyak lahan terbuka hijau dan lahan resapan air. Dan yang baru-baru ini adalah pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota yang dicanangkan Gubernur baru, Joko Widodo. Pembangunan jalan juga ikut menyumbang penurunan tinggi permukaan tanah Kota Jakarta, akibat dari pembangunan gedung bertingkat dan jalan-jalan beraspal wilayah Jakarta Utara mengalami penurunan daratan 10-15 sentimeter/ tahun dan wilayah Jakarta Pusat hingga Jakarta Barat turun 4-8 sentimeter/tahun.

Hal ini dibenarkan oleh pengamat tata kota, Nirwono Joga yang menganggap pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam penanganan banjir Kota Jakarta.
“Pemerintah Kota jakarta tidak konsisten menangani banjir, seperti yang kita tahu pemerintah kota Jakarta berniat memberikan ruang terbuka hijau yang lebih banyak tapi kemudian malah berencana membuat enam ruas tol baru dan ngasih ijin 24 mall baru di Jakarta. Gak konsisten itu namanya”. Ujar Nirwono.

Menurutnya, pemerintah kota Jakarta seharusnya mengembalikan fungsi waduk dan situ sebagai eco-drainasse, dimana waduk dan situ berfungsi sebagai daerah penampung dan daerah resapan air hujan. Eco-drainasse dianggap bisa menjadi solusi yang tepat dan menguntungkan karena tidak terlalu memakan banyak anggaran, dan menguntungkan karena dengan mengembalikan fungsi waduk dan situ di Jakarta sebagai daerah sumber air jika musim kemarau datang. Selain itu Eco-drainasse juga dianggap lebih menguntungkan karena dapat menjadi sumber air ketika musim kemarau tiba dibanding Deep Tunnel yang dicanangkan oleh Gubernur Joko Widodo.

Program normalisasi 13 sungai utama di Jakarta juga dianggapnya menjadi hal yang wajib dilakukan pemerintah dengan memeperlebar sungai yang sekarang lebarnya hanya 20-30 meter menjadi 100 meter yang terbagi menjadi 50 meter wilayah air dan 25 meter ditiap sisinya dan merelokasi pemukiman penduduk di pinggiran kali.

Dan yang terakhir adalah benar-benar konsisten menciptakan daerah ruang terbuka hijau untuk membantu fungsi eco-drainasse yang dijalankan waduk dan situ seperti dalam Undang-undang Tata Kota nomer 26 tahun 2007 pasal 29 dan 30.


Ini merupakan tugas liputan Penulisan Berita, semoga bermanfaat menyadarkan kita semua. Ciao!

Grazie-

No comments:

Post a Comment