Saturday 8 June 2013

Belanda Punya Gaya.

Kalau anda mencari review pertandingan berbobot serta penuh dengan paparan lengkap taktik menit demi menit pertandingan Indonesia vs Belanda, anda salah tempat. Tapi kalo butuh sesuatu yang berbeda tapi layak untuk membunuh waktu dikala sibuk dikamar mandi atau macet disiang hari, mari disimak.

Semalam, yaa semalam, 7 Juni 2013. Indonesia kembali diinvasi Belanda setelah kurang lebih 70 tahun "terkesan" lepas dari cengkraman londo-londo hidung mancung tersebut. Tapi kali ini dengan bantuan agenda FIFA dan sentuhan kata "friendly match", Stadion Glora Bung Karno penuh dengan penonton dari segala usia, begitulah yang terlihat dilayar kaca televisi berwarna yang gw tatap. Seperti yang gw bilang diatas, gak akan ada review taktik pertandingan bahkan gw gak gitu paham formasi apa yang kedua tim pakai. Atau bahkan apa definisi kata "flank" pun gw butuh penjelasan google untuk mengangguk. Tapi yang menarik adalah, dari sebelum pertandingan semalam, dunia sosial seperti twitter penuh dengan kicauan berbau pertandingan malam tadi. Mulai dari yang berusaha menggelontorkan fakta sejarah demi menggugah ingatan pelajaran sejarah SD-SMP-SMA sampai nyinyir hanya demi mendapat sebuah retweet. Bayang-bayang masa penjajahan dianggap masih layak untuk diangkat bersanding sejajar dengan kata-kata penyemangat timnas. Bahkan bisa dibilang ini merupakan pertandingan emosional kedua Indonesia selain ketika berhadapan dengan Malaysia. Kalimat "350 tahun dijajah", "Nasionalisme", "Merah Putih" bertebaran ditimeline gw. Terlepas dari kostum putih hijau yang dikenakan Timnas, mereka bermain bagus entah bagaimana menurut para pengamat menanggapinya.

Pertandingan yang dilangsungkan di lapangan Stadion Gelora Bung Karno satu hari setelah sang empunya nama stadion berulang tahun. Entah apa korelasinya, mungkin ini merupakan rangkaian hadiah ulang tahun untuk sang proklamator jika menang. Ingat jika menang, dan nyatanya kita kalah. "Dengan Bangga" (katanya) ahh..

Yang menarik adalah kita, yaa kita masih membutuhkan bantuan sekutu untuk mengalahkan Belanda meskipun sudah merdeka (katanya). Sekutu? Yaa, sekutu asing tepatnya. Pemain naturalisasi, sponsor asing, serta pelatih utama asing. Dua pemain keturunan Belanda pun berada dalam susunan pemain kita semalam, mereka antek KNIL nampaknya (hahaha). Sungguh bangsa yang mandiri. Selain itu kita pun terserang deja vu massal yang dulu dialami para pendahulu kita, rasa senang ketika melihat Belanda tiba di Indonesia. Kalo dulu senang karena Belanda mborong rempah kalo sekarang senang Belanda datang bersama bintang sepakbolanya dan gantian kita yang mborong tiket ngeliat Belanda.

Selain itu, lebih menariknya lagi adalah mengalahnya bangsa kita tidak untuk memakai kostum kebanggaan merah putih, hanya demi bendera merah putih itu terselip kecil didada kiri pemain Belanda. Tepat disebelah bendera Belanda dan dibawah logo KNVB. Ini bentuk perjanjian macam apa lagi? Semoga bukan Linggarjati season 3, Hahaha.

Pertandingan semalam pun bisa dibilang menjadi ajang menarik melihat Menpora kita tercinta berusaha menjadi trendsetter meski entah sebelum ini pernah atau tidak dilakukan oleh pendahulunya. Yakni memadukan formalitas dan sportifitas yang tergambar jelas pada kostum yang ia kenakan, kostum timnas beserta celana bahan licin yang terlihat sedikit mengganjal. Entah apakah GBK minim kaca atau para pengawal yang pandai berbohong ketika ditanya.

Lalu ada lagi, yakni munculnya sang bapak ber-hati nurani di tribun, Sedang mencari kader berlatar belakang olahragawan atau sekedar men-scouting pemain muda untuk dijadikan tandemnya dalam 2014 nanti mungkin.

Meski realita kekalahan 3-0 tapi yang patut dicermati adalah antusiasnya para pendukung timnas yang bisa dibilang bagus. Yah walaupun kalah tetap semangat mirip dengan pemain timnasnya yang semangat lepas baju tukeran kostum sama pemain Belanda. Atau sesemangat yang di twitter gak nonton langsung tapi giat komentar sarkas kaya komentator gak dibayar.

Terlepas dari riuh rendah di stadion dan di timeline, kostum Menpora sang trendsetter, atau kostum putih hijau sang merah putih hal yang perlu kita syukuri adalah kita mendapat pelajaran yang berharga bisa bermain bersama beberapa pemain dunia, kita bisa belajar sejarah dari kultwit kakak-kakak ditwitter dan tentunya belajar dari Belanda bagaimana mereka membiakkan pemain muda layaknya tanaman touge dibawah sinar matahari, cepat, kuat. Yaa sekali lagi kita harus belajar dari Belanda, cara membuat undang-undang, cara membuat penjara, cara membuat jalan, dan sekarang setelah merdeka (katanya) kita masih belajar caranya bermain sepak bola, belajar dari Belanda, Belanda punya gaya.


Monday 3 June 2013

Gelar, Untuk Sesuatu yang Belum Kelar

KBBI > Cari Kata > Gelar :

ge·lar n 1 sebutan kehormatan, kebangsawanan, atau kesarjanaan yg biasanya ditambahkan pada nama orang spt raden, tengku, doktor, sarjana ekonomi; 2 nama tambahan sesudah nikah atau setelah tua (sbg kehormatan): ia diberi – “Sutan”; 3 sebutan (julukan) yg berhubungan dng keadaan atau tabiat orang
Diatas itu definisi resmi KBBI Online dari kata "Gelar". Singkatnya, gelar adalah bentuk penghormatan yang diberikan atas apa yang telah seseorang lakukan. Dan nihil kemungkinan diberikan kepada seseorang atas apa yang tidak pernah dilakukannya. Contoh yang lebih mudah, tak mungkin seorang yang tidak sekolah mendapat gelar sarjana. Gelar bukanlah hujan yang jatuh dari langit secara tiba-tiba ketika awan segempal pun tak terlihat.

Tetapi, cerah memang tak selalu cerah dan bebas dari hujan. Anomali. Yaa sebuah hal yang diluar akal sehat kembali terjadi. 31 Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianugerahkan "World Statesment Award 2013" oleh Appeal of Conscience Foundation. Gelar ini diberikan atas (katanya) kontribusi Pak Pres dalam suksesnya toleransi umat beragama di Indonesia. Gelar yang ia terima dengan senyum serta tatapan penuh bangga atas (mungkin) dirinya sendiri. Gelar yang ia terima ketika jubirnya sendiri membelanya dengan menghina agama lain. Gelar yang ia terima ketika ribuan akun di jejaring sosial twitter mengumandangkan kekecewaan atas tindakannya menerima gelar tersebut. Gelar yang ia terima ketika banyak pemuka agama mempertanyakan tindakannya menerima gelar tersebut. Gelar yang ia terima lalu ditutup dengan sebuah pidatonya dalam bahasa Inggris beraksen khas Indonesia. Lalu pertanyaannya, toleransi macam apa yang diciptakan di Indonesia? Toleransi bagaimana yang dimaksud? Ketika beribadah dilarang, ketika tiga menteri yang jumlahnya tak lebih banyak dari jumlah rata-rata personil boyband bisa menciptakan peraturan untuk melarang orang beribadah, ketika umat sedang beribadah dan ditodong lensa serta paha terbuka, ketika ormas atas nama agama berdiri seakan diatas lebih tinggi dari hukum, ketika menghina etnis dianggap hal sepele, ketika perang antar suku terjadi hanya karena persoalan sepele, ketika aaahhh sudahlah terlalu banyak yang jikalau disebutkan tak akan terlalu jauh beda panjangnya dengan surat Markus didalam al-kitab.

Dimana letak toleransi di negara ini? Entah apa yang salah dengan pemberi gelar ini. Atau mungkin jarak NY tempat Appeal of Conscience Foundation ini berdiam terlalu jauh sehingga distorsi makna tercipta ketika di Indonesia terjadi sebuah pelanggaran toleransi beragama dan berummat? Terlalu over-thinking memang tapi adakah akal sehat yang bisa menjelaskannya?

Ada peribahasa "Koreksi diri sendiri dahulu sebelum mengoreksi orang lain"

Baik, kita lakukan koreksi mendalam dari sisi kita, sang penerima penghargaan. Atau tepatnya sang presiden "dalang" toleran nya manusia di Indonesia. Tidak diperlukan gelar sarjana, gelar doktor, atau 7 gelar honoris causa milik sang presiden untuk mengkoreksinya. Cukup menilik kejadian beberapa waktu terakhir, seperti yang tertera diatas, yang saya tulis dengan panjang. Tindakan pelarangan beribadah, mendirikan rumah ibadah, bahkan mengganggu umat yang sedang beribadah itu hal yang mudah ditemukan di Indonesia, hampir semudah menemukan tukang sayur dipagi hari. BANYAK!

Dari semua kejadian diatas, pernahkah kita melihat sang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada turun tangan? menyelesaikan masalah antar rakyatnya? TIDAK! Ia lebih peduli akan update twitter perihal kegiatan atau makan siang apa ia hari ini. Ia lebih peduli akan seorang anak mantan Presiden yang gagal masuk ke partainya. Ia lebih peduli pada hal sepele sama seperti kepergiannya ke Swedia sebelum menerima penghargaan dari ACF tersebut.

Seharusnya ia melakukan hal yang hampir semua orang berakal sehat inginkan, menolak! Ya, menolak dan lebih peduli atas konflik horizontal diantara rakyatnya yang bersikut-sikutan perang urat saraf mempertahankan keyakinan agamais mereka atau perang golok hanya karena pemuda desa mereka dikeroyok pemuda desa sebelah. Toh penolakan gelar tersebut nyatanya tidak membuat ia kehilangan harga diri (lagi). Mengutip twit seorang pegiat media dan tokoh jurnalistik ternama :
Menolak penghargaan tak meruntuhkan integritas pribadi.
Yaa, tak akan hilang integritasnya bahkan mungkin bertambah dengan simpatik dari yang mengetahuinya. Tapi itu hanya teori, tak sebanding dengan logika sang penerima 7 gelar honoris causa dari universitas berbeda, gelar ksatria dari Ratu Inggris yang tentu luar biasa hebatnya hingga lupa peran utamanya dalam pemerintahan.

Pemimpin dengan gelar paling banyak pada zamannya mungkin. Semoga saja ia tak kehabisan blok minyak untuk ditukarnya lagi dengan gelar-gelar berikut.

Ada beberapa slentingan, gelar ini diberika agar sang Presiden dapat lebih giat menciptakan toleransi umat beragama di Indonesia. Atau singkatnya diberikan untuk sesuatu yang yang belum selesai, yaa gelar untuk sesuatu yang belum kelar.



[Ditulis dengan bantuan akal sehat berteman dengan amarah]

-Grazie