Wednesday 9 July 2014

Gatal 5 tahunan.

Gatal.
Pernah merasakan gatal yang begitu hebat hingga untuk menggaruknya pun rasanya rela untuk menukar salah satu nyawa manusia lain hanya demi kepuasan menggaruk tiada tara? Jika pernah maka anda akan lebih mudah mengerti isi tulisan berbumbu subjektif dan jika ditelaah tidak ada artinya ini. Hanya sebatas keluhan, menjalankan fungsi utama makhluk sosial paling cerdas dan paling sempurna evolusinya ini. 

Demokrasi.
Sebuah sistem pemerintahan yang berdaulat. Yang kedaulatannya diberikan sepenuhnya pada kebebasan berpendapat dan mengutarakan pendapat. Berasal dari bahasa yunani, "Demokratia" yang artinya "Kekuasaan rakyat", yang kurang lebih memberikan kekuasaan sebesar besarnya pada rakyat. Mengutip selentingan Abraham Lincoln tahun 1863, "Democracy is government of the people, by the people, for the people". Sebuah saduran dari pola pemerintahan Yunani. Dan Indonesia yang baru merdeka 69 tahun tepat di 2014 ini, baru mulai mengadopsinya kurang lebih 15 tahun terakhir. 

Pemilu.
Sebuah proses yang lahir dari program demokrasi yang berjalan setiap 5 tahun sekali di Indonesia. Merupakan akronim dari "Pemilihan Umum", sebuah pesta rakyat (katanya) sudah seperti event 5 tahunan yang prosesnya identik dengan paku. Mencoblos. Masuk bilik. Jari bertinta.

Social Media.
Merupakan hasil lahiran dari euforia internet yang muncul diawal tahun 2000 dan kejeniusan industri gadget smartphone. Media bersosialisasi "baru" yang mampu menggeser segala kegiatan manusiawi yang biasa dilakukan seorang individu, seperti berkomunikasi langsung dengan bercakap-cakap. Path, Twitter, Facebook, Youtube, pernah dengar?

Quick count.
Melihat artinya yang jika di-Indonesia-kan yakni, "Hitung Cepat". Sebuah metode yang baru muncul di Indonesia pada periode ke dua Pemilu yang demokratis di Indonesia. Metode yang lahir dari rasa tidak sabar dan tingkat rasa ingin tahu yang tinggi, ia memprediksikan hasil Pemilu yang baru saja berlangsung dengan bantuan sampel-sampel yang disebar diantara TPS-TPS tempat berlangsungnya pemungutan suara. Meski sebenarnya metode ini sudah marak di luar negeri khususnya negeri "diktator" (katanya), Amerika Serikat. 

Sotoy.
Tidak akan anda temukan kata ini di web Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sebuah bahasa "slang" milik bangsa Indonesia yang bahasanya tanpa diisi bahasa "slang" ini sudah rumit dengan keberagaman bahasa daerah. Sotoy yang artinya sebuah kondisi dimana seorang individu merasa memiliki pengetahuan lebih akan suatu hal tapi ternyata ia larut dalam ilusi logikanya sendiri. Ah saya seperti membicarakan diri sendiri nampaknya. Silahkan hakimi saya sama seperti para anggota MPRS kala menghakimi Soekarno dan Nawaksara -nya 48 tahun lalu. Aku capek mas.

Diatas adalah penggalan-penggalan analogi atau hanya sebatas pengantar atau premis singkat yang membantu agar lebih mudah masuk ke inti tujuan menulis tulisan yang nampaknya tidak akan memakan waktu lebih lama, dari pidato seorang pemilik media yang identik dengan facial hair berlebih diatas pipi dan dagunya. Ini ada sebuah kegundahan bak rasa gatal ketika melihat antusiasme akan Pemilu buah Demokrasi di Sosial Media atas hasil Quick Count Pemilu yang dibumbui dengan rasa baru tapi lama, sotoy. Ketika kita sebelumya dikepung kalimat-kalimat penuh propaganda terselubung kini kita disuguhkan pemandangan dan kalimat-kalimat penuh manipulasi yang tak jarang membuat logika kita sendiri lupa bagaimana cara berlogika. Mungkin tulisan ini pun bisa disebut sebagai salah satu aksi sotoy Pemilu tapi at least saya mencoba mengeluarkannya secara lengkap dengan premis pendukung dan tidak sepotong-sepotong khas sosial media sekarang. Yak lagi-lagi sebuah pembelaan. Tapi kegundahan ini pun pasti dirasakan oleh banyak orang ketika kita yang berdiam karena tidak ingin terlalu ambil pusing dengan perang argumen penunjuk sisi di media sosial perlahan geram dengan individu-individu yang menjalankan hak demokratisnya dengan berpendapat namun di media sosial. Ditambah lagi dengan hasil Quick count yang nyatanya masih belum mutlak menjatuhkan mandat 5 tahun kedepan pada salah satu calon yang bertanding di Pemilu tahun ini. Mereka yang seakan dengan penuh pengetahuan tinggi saling menyindir calon satu dan yang lain dengan nada sarkastik atau yang justru mengejek keduanya dengan kebanggaan agar terlihat "berbeda" seperti ikan tuna dipasar siang. Saling cerca yang tentu tidak ada artinya, cercaan yang tidak akan menambah 500 suara baru untuk calon yang mereka dukung atau cercaan yang toh tidak akan membantu para perantau di Hong Kong yang baru baru ini mengamuk karena gagal memberikan suara demokrasi mereka. Kita hanya sebuah produk kegagalan pendidikan demokrasi dan keberhasilan penggiringan opini terselubung. Kontribusi kita yang nyata berada didalam bilik suara, dan bukan diatas layar gadget. Sebuah kesadaran dan kedewasaan menggunakan sosial media tentu harusnya lebih ditunjukan bukan ego akan kebanggaan berlebih memilih salah satu calon. Pilihan tidak lebih seperti agama. Layaknya ideologi kelamin. Baik ketika anda memilikinya namun ketika anda memaksakan kelamin anda untuk diterima oleh orang lain itu buruk adanya, apalagi malah menjelek-jelekkan kelamin orang lain. Get it? Seharusnya diberikan kata (Explicit) disamping judul tulisan ini tapi sudahlah saya malas, toh ini juga memunculkan senyum simpul kecil dibibir anda. Kita bebas berpendapat apalagi di sosial media, tapi baiknya dewasa dalam menggunakannya. Memang itu hak anda, tapi ketika yang menurut hak anda itu malah mengganggu hak orang lain bukankah itu tidak adil? Pemilu belum berakhir dan inilah tanggung jawab kita sebagai warga negara untuk mengawalnya hingga akhir pada 22 Juli nanti. Dan sekali lagi, tulisan ini merupakan sebuah kegundahan seperti rasa gatal atas antuasiasme Pemilu buah demokrasi atas hasil Quick count Pemilu yang dibumbui rasa baru tapi lama, sotoy.

No comments:

Post a Comment