Wartawan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “orang yg pekerjaannya mencari dan
menyusun berita untuk dimuat dl surat kabar, majalah, radio, dan televisi”. Sedangkan
Bahasa, adalah “sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”.
Dua korelasi yang sangat penting dalam kehidupan jurnalistik. Keduanya saling berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan.
Wartawan
membutuhkan bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang ingin mereka sampaikan pada
khalayak dalam bentuk berita. Pada masa pers perjuangan, wartawan menggunakan
bahasa sebagai senjata ampuh untuk meng-invasi otak para pembaca surat kabar
dan memupuk rasa nasionalisme mereka untuk melawan penjajah. Meskipun pada masa
pers perjuangan, surat kabar adalah suatu hal yang langka karena tekanan dari
pihak kolonial.
Dalam
perkembangannya, wartawan senang “mengotak-atik” bahasa dan mengubahnya menjadi
lebih kaya akan makna, seperti pada era Orde Baru. Lahirnya majalah Tempo pada
tahun 1971 bisa dibilang adalah menjadi awal dimana bahasa mengalami banyak
sentuhan-sentuhan baru. Hal ini dikarenakan latar belakang wartawan-wartawan
Tempo yang saat itu kebanyakan adalah seorang Sastrawan. Seorang sastrawan
dikenal sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan penalaran bahasa yang lebih
dibanding orang biasa. Ia dianggap mampu mengeksplorasi bahasa hingga mencapai
batasnya. Latar belakang inilah yang membuat Tempo dikenal memiliki ciri khas
yang berbeda dengan surat kabar atau majalah lainnya saat itu. Bahasa-bahasa
sastra yang disuguhkan oleh para wartawan Tempo bisa dibilang menghadirkan
nuansa baru pada perkembangan bahasa dan membuatnya lebih kaya. Dalam hal ini
terciptalah sebuah simbiosis mutualisme antara wartawan dan bahasa.
Dewasa
ini, bahasa tetap menjadi andalan utama para wartawan dalam menyajikan berita. Dipengaruhi
oleh profesi wartawan yang paling mengandalkan bahasa dalam keberlangsungan
hidupnya dan ditambah dengan sifat bahasa yang terus berkembang mengikuti
perkembangan zaman, maka muncullah Bahasa Jurnalistik. Bahasa yang dianggap
merupakan ciptaan para wartawan atau jurnalis agar lebih ekspresif dalam
menyampaikan berita yang mereka suguhkan. Kemunculan Bahasa Jurnalistik bisa
dibilang adalah sebuah hasil “perkawinan” antara kesusastraan dan jurnalistik. Namun
sayangnya, Bahasa Jurnalistik dinilai oleh banyak pemerhati bahasa banyak “menabrak”
kaidah-kaidah berbahasa yang baik. Tetapi disisi lain, Bahasa Jurnalistik menjadi
daya tarik suatu berita yang dapat membuat pembaca lebih mengerti apa makna
yang ingin disampaikan oleh sang wartawan. Tentu ini menjadi suatu hal yang dilematis,
dimana sifat bahasa yang bergerak dinamis dan berdampak baik dalam penyampaian
pesan akan tetapi banyak kaidah bahasa yang dilanggarnya.
Perkembangan
zaman juga ikut menambah tugas para wartawan. Wartawan sekarang dituntut untuk
tetap memakai bahasa yang laik, tanpa terpengaruh transformasi buruk bahasa itu
sendiri. Tentu ini menjadi sebuah tugas baru bagi para wartawan demi menjaga bahasa
untuk tetap pada kaidahnya.
Grazie-
No comments:
Post a Comment