Friday 26 October 2012

Ketika simbiosis mutualisme bukan hanya milik kupu-kupu dan bunga..



Wartawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “orang yg pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dl surat kabar, majalah, radio, dan televisi”. Sedangkan Bahasa, adalah “sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”. Dua korelasi yang sangat penting dalam kehidupan jurnalistik. Keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

Wartawan membutuhkan bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang ingin mereka sampaikan pada khalayak dalam bentuk berita. Pada masa pers perjuangan, wartawan menggunakan bahasa sebagai senjata ampuh untuk meng-invasi otak para pembaca surat kabar dan memupuk rasa nasionalisme mereka untuk melawan penjajah. Meskipun pada masa pers perjuangan, surat kabar adalah suatu hal yang langka karena tekanan dari pihak kolonial.

Dalam perkembangannya, wartawan senang “mengotak-atik” bahasa dan mengubahnya menjadi lebih kaya akan makna, seperti pada era Orde Baru. Lahirnya majalah Tempo pada tahun 1971 bisa dibilang adalah menjadi awal dimana bahasa mengalami banyak sentuhan-sentuhan baru. Hal ini dikarenakan latar belakang wartawan-wartawan Tempo yang saat itu kebanyakan adalah seorang Sastrawan. Seorang sastrawan dikenal sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan penalaran bahasa yang lebih dibanding orang biasa. Ia dianggap mampu mengeksplorasi bahasa hingga mencapai batasnya. Latar belakang inilah yang membuat Tempo dikenal memiliki ciri khas yang berbeda dengan surat kabar atau majalah lainnya saat itu. Bahasa-bahasa sastra yang disuguhkan oleh para wartawan Tempo bisa dibilang menghadirkan nuansa baru pada perkembangan bahasa dan membuatnya lebih kaya. Dalam hal ini terciptalah sebuah simbiosis mutualisme antara wartawan dan bahasa.

Dewasa ini, bahasa tetap menjadi andalan utama para wartawan dalam menyajikan berita. Dipengaruhi oleh profesi wartawan yang paling mengandalkan bahasa dalam keberlangsungan hidupnya dan ditambah dengan sifat bahasa yang terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, maka muncullah Bahasa Jurnalistik. Bahasa yang dianggap merupakan ciptaan para wartawan atau jurnalis agar lebih ekspresif dalam menyampaikan berita yang mereka suguhkan. Kemunculan Bahasa Jurnalistik bisa dibilang adalah sebuah hasil “perkawinan” antara kesusastraan dan jurnalistik. Namun sayangnya, Bahasa Jurnalistik dinilai oleh banyak pemerhati bahasa banyak “menabrak” kaidah-kaidah berbahasa yang baik. Tetapi disisi lain, Bahasa Jurnalistik menjadi daya tarik suatu berita yang dapat membuat pembaca lebih mengerti apa makna yang ingin disampaikan oleh sang wartawan. Tentu ini menjadi suatu hal yang dilematis, dimana sifat bahasa yang bergerak dinamis dan berdampak baik dalam penyampaian pesan akan tetapi banyak kaidah bahasa yang dilanggarnya.

Perkembangan zaman juga ikut menambah tugas para wartawan. Wartawan sekarang dituntut untuk tetap memakai bahasa yang laik, tanpa terpengaruh transformasi buruk bahasa itu sendiri. Tentu ini menjadi sebuah tugas baru bagi para wartawan demi menjaga bahasa untuk tetap pada kaidahnya.

Ini Tugas Bahasa Jurnalistik, makanya sebisa mungkin gw jaga bahasanya biar gak slengean. dosennya killer coy, pemerhati bahasa. kebayangkan kalo bahasa gw amburadul, digigit kuping gw pasti macam Holyfield gara-gara dianggep gak ngedengerin. hehehe okelah enjoys yaks! :D


Grazie-

No comments:

Post a Comment